bonggol jagung sebagai sumber energi alternatif


Seiring meningkat nya harga bahan bakar dan semakin menipis nya persediaan minyak bumi di Indonesia, maka dari itu sangat di butuhkan adanya energi alternatif. Energi alternatif sangat dibutuhkan dunia yang mulai kehabisan persedian sumber energi. Salah satu nya adalah pemanfaatan bonggol jagung yang dihasilkan dari produktifitas pertanian menjadi pemanfaatan energi biomassa. Disini kami akan membahas bonggol jagung sebagai bahan bakar padat dan sebagai bahan pembuatan ethanol.

Bonggol jagung adalah juga hidrokarbon. Hidrokarbon adalah sumber energi yang cukup banyak digunakan oleh manusia. Di Indonesia, pemanfaatan bonggol jagung masih terbatas, padahal Indonesia adalah produsen jagung terbesar ke-8 dunia, yakni sebanyak 12.381.561ton pada tahun 2007. Bonggol jagung sering dianggap hanya sebagai sampah. Pada tahun2002, limbah batang dan daun jagung kering adalah sebanyak 3,46 ton/ha; sedangkan padatahun 2006, luas panen jagung adalah 11,7 juta ton. Sifat tongkol jagung yang memiliki kandungan karbon yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengeringkan 6 ton jagung dari kadar air 32.5% sampai 13.7% bb selama 7 jam diperlukan sekitar 30 kg tongkol jagung kering per jam (Alkuino 2000).

Bahan Padat Untuk Proses Pirolisa dan Gasifikasi

Pirolisa merupakan proses pemanfaatan limbah dengan cara pembakaran tidak sempurna pada suhu yang relatif rendah yaitu sekitar 400-500oC. Proses pirolisa menghasilkan gas dengan nilai kalor 4000 kJ/Nm3 gas, minyak cair (bio-oil) dengan nilai kalor 16000-17000 kJ/kg dan arang. Gas yang terbentuk dapat dipergunakan untuk menghasilkan udara panas, menggerakkan motor atau membangkitkan tenaga listrik. 

Limbah jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar padat untuk proses thermal gasifikasi. Pada proses gasifikasi, terjadi pembakaran tidak sempurna pada suhu yang relatif tinggi, yaitu sekitar 900-1200oC. Proses gasifikasi menghasilkan produk tunggal berupa gas dengan nilai kalori 4000-5000 kJ/Nm3. Gas yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan udara panas, menggerakkan motor dan dapat digunakan sebagai pembangkit listrik. Konversi energi dengan cara gasifikasi efisiensi panasnya mencapai 50-70%.

Sebagai bahan pembuat ethanol

Biomasa mengandung selulosa dan hemiselulosa. Produk akhir dari hidrolisa selulosa adalah glukosa. Glukosa dikenal sebagai gula dengan 6 gugus karbon (dapat difermentasi), sedangkan bagian hemiselulosa adalah D-xylosa adalah gula dengan 5 gugus karbon. D-xylosa adalah jumlah gula nomor dua terbanyak di alam dan bahan potensial untuk makanan dan bahan bakar. Gula hemiselulosa (D-xylosa) dapat  diperoleh dengan produktivitas 80-90% dari xylan dengan asam atau hidrolisa enzimatik. Penggunaan D-xylose pada produksi komersial dari zat-zat kimia bernilai ekonomis tinggi seperti ethanol, asam asetat, 2,3-butanadiol, aseton, isopropanol dan n-butanol dengan menggunakan mikroorganisme (Lachke, 2002).

Riset dalam rangka mempelajari peranan mikroorganisme pada gula pentosa masih dalam taraf pengembangan. Peneliti dari universitas Purdue-AS telah mengembangkan ragi dengan modifikasi genetika, dimana diharapkan dapat  memfermentasikan selulosa menjadi etanol secara efisien. Ragi hasil rekayasa genetika paling tidak mampu menghasilkan lebih dari 30% etanol dari sejumlah
bahan tanaman. Tujuannya adalah membuat etanol dengan harga yang kompetitif dengan bensin (Anon, 2002; Lachke, 2002).

Ethanol dan 2,3 butanadiol merupakan bahan bakar alkohol yang berasal dari proses fermentasi gula atau molase. Ethanol mempunyai nilai energi 122 MJ/kg, sedangkan 2,3-butanediol nilai energinya 114 MJ/kg. Penggunaan ethanol sebagai bahan bakar baik sebagai campuran bahan bakar bensin dan solar atau sebagai pengganti bensin telah dilakukan di beberapa negara. Sebagai contoh dalam rangka kebijakan penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, Australia telah mengeluarkan kebijakan pencampuran ethanol pada bensin untuk konsumsi kendaraan bermotor pada rasio 1:14. Sumber ethanol di Australia dihasilkan dari limbah industri penghasil gula, pati dan gluten. Penggunaan ethanol sebagai bahan bakar pengganti bensin dan solar sebagai program nasional pernah berhasil dilakukan oleh Brazil pada tahun 70-an yang sumber utamanya berasal dari limbah pengolahan tebu.

Kesimpulan yang dapat di peroleh adalah Tanaman jagung (Zea mays) adalah merupakan tanaman pangan terpenting  kedua di Indonesia. Berdasarkan karakteristik fisik dan kimianya, tanaman  jagung memiliki banyak kegunaan, berpotensi sebagai sumber energi  terbarukan dan produk samping yang bernilai ekonomis tinggi.

Pemanfaatan jagung dan limbahnya sebagai sumber energi terbarukan dengan  teknologi konversi energi yang ada saat ini, di antaranya adalah sebagai  bahan bakar tungku untuk proses pengeringan atau pemanasan, sebagai bahan bakar padat untuk proses pirolisis dan gasifikasi, sebagai bahan baku  pembuatan ethanol dan  sebagai bahan baku potential pembuatan biodiesel.

Pemanfaatan limbah jagung dan turunan produk berbahan baku jagung sebagai  sumber energi terbarukan cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia, namun penggunaan secara optimal perlu dikaji agar diperoleh keuntungan yang  maksimal.

Pemanfaatan limbah jagung masih menghadapi banyak kendala seperti lokasi  produksi jagung yang tersebar dan densitas kamba yang kecil sehingga biaya transportasi untuk mengumpulkan bahan baku cukup tinggi. Untuk itu, dengan sistim kawasan terintegrasi diharapkan dapat mengatasi kendala tersebut. 

PENCEMARAN AIR KARENA PENGEBORAN MINYAK

Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain kedalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berubahnya tatanan (komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.

Laut adalah kumpulan air asin dalam jumlah yang sangat banyak dan luas yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang menutupi permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin. Biasanya air yang ada di darat mengalir dan bermuara ke laut.

Limbah minyak, adalah buangan yang berasal dari hasil explorasi produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak pada kapal laut. Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3), karena sifatnya itulah, maka konsentrasi ataupun jumlahnya dapat mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.

Pada umumnya, pengeboran minyak bumi di laut menyebabkan terjadinya peledakan (blow out) di sumur  minyak. Ledakan ini mengakibatkan semburan minyak ke lokasi sekitar laut, sehingga menimbulkan pencemaran. Seperti yang terjadi pada April 2010 yang lalu di Teluk Meksiko 80 Km dari Pantai Lousiana, ledakan anjungan minyak lepas pantai yang dikelola oleh perusahaan minyak British Petroleum itu menumpahkan  minyak mintah sebanyak 4.000.000 galon minyak mentah yang terus menyembur keluar dari lokasi pengeboran.

Efek yang ditimbulkan akibat pencemaran minyak bumi di laut itu sendiri adalah :

1.     1.  Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir tumbuhan dan hewan. Gumpalan tar yang terbentuk dalam proses pelapukan minyak akan hanyut dan terdampar di pantai.

2.      2. Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian secara langsung. Terumbu karang akan mengalami efek letal dan subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya.

3.      3. Pertumbuhan pitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari proses biodegradasi. Jika jumlah pitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun. Padahal hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein yang tinggi.

4.      4. Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan minyak di permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini dikarenakan slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya mati.

Penanganan di laut

Tindakan pertama yang dilakukan dalam mengatasi tumpahan minyak yaitu dengan melakukan pemantauan banyaknya minyak yang mencemari laut dan kondisi tumpahan. Ada dua jenis pemantauan yang dapat dilakukan, yaitu :

1.      1. Pengamatan secara visual
Pengamatan yang menggunakan pesawat terbang, teknik ini melibatkan banyak pengamat, sehingga laporan yang diberikan sangat bervariasi. Pada umumnya pemantauan dengan teknik ini kurang dapat dipercaya. Sebagai contoh, pada tumpahan jenis minyak yang ringan akan mengalami penyebaran (spreading), sehingga menjadi lapisan yang sangat tipis di laut. Pada kondisi ideak akan terlihat warna terang, namun penampakan lapisan ini sangat tergantung pada jumlah cahaya matahari, sudut pengamatan dan permukaan laut, sehingga laporannya tidak dapat dipercaya.

2.      2. Pengamatan penginderaan jauh
Metode ini dilakukan dengan berbagai macam teknik, seperti Side-Looking Airborne Radar (SLAR). SLAR dapat dioperasikan setiap waktu dan cuaca, sehingga menjangkau wilayah yang lebih luas dengan hasil penginderaan yang detail. Tetapi teknik ini hanya bisa mendeteksi lapisan minyak yang tebal dan teknik ini tidak bisa mendeteksi minyak yang berada dibawah air dalam kondisi laut yang tenang. Selain SLAR ada juga teknik Micowave Radiometer, Infrared-Ultraviolet Line Scanner, dan Landsat Satellite System. Berbagai teknik ini biasanya digunakan untuk menghasilkan informasi yang cepat dan akurat.

Metode penanggulangan

1.      In-situ burning
pembakaran minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api. Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakaran yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi.

2.      Penyisihan minyak secara mekanis
Penyisihan minyak secara mekanis terbagi melalui dua tahap, yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer. Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitive, seperti plantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya keberadaan angin, arus, dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui banyak kendala.

3.      Bioremediasi
Mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrient, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang kurang berbahaya seperti CO2, air, dan biomass. Selain memiliki dampak lingkungan yang sangat kecil, cara ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan.

4.      Menggunakan sorbent
Penyisihan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent sendiri berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik, oleofobik, dan mudah disebarkan ke permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen, dan serat nilon).

5.      Menggunakan dispersan kimiawi
Memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan (berasal dari kata “surfactants=surface-active agents atau zat aktif permukaan).

Berbagai cara metode penanggulan tersebut memang tidaklah murah, dan meninggalkan residu di alam. Untuk itu diperlukan adanya ke hati-hatian dari para pekerja di pengeboran minyak lepas pantai, demi pencegahan tumpahan minyak ke laut.


 Sumber :